Sabtu, 17 Agustus 2013

Filsafat Bahasa: Golden Ways, Mario Teguh


PERNYATAAN MARIO TEGUH DALAM ACARA GOLDEN WAYS: SEBUAH TAFSIRAN FILSAFAT BAHASA

Oleh
SRI SUJATI





Mario Teguh sebagai motivator mungkin yang paling fenomenal saat ini. Selain acaranya, juga facebook dan twitternya banyak yang menyambanginya. Maka tidak salah kalau MURI memberikan penghargaan sebagai motivator paling fenomenal. Apa kekuatan acara Golden ways sehingga diserbu banyak kalangan?  Ternyata kekuatan Mario Teguh ada pada mengolah kata-kata. Pilihan katanya yang bernas, indah, dan dalam maknanya. Kalimat-kalimat yang mengandung perenungan mendalam. Ia sering menjungkirbalikkan logika, tetapi sangat logis jika dicerna. Kalimat-kalimatnya mengajak kita untuk memuliakan diri sendiri, orang lain, dan kehidupan. Kata-katanya bagai emas berkilauan yang mengalahkan kilau permata dan intan berlian manapun. Ia telah menyelami kehidupan ini sampai pada kedalaman yang orang lain tidak menjangkau.
Kata Kunci:  Kalimat, makna kata, maksud kalimat, perenungan, bijak

PENDAHULUAN
Acara Golden Ways di Metro Tv adalah salah satu acara yang mendapat rating tinggi. Belum lagi peserta yang ingin hadir di studio langsung harus mengantri. Apa yang menarik dari acara ini? Apakah pembawa acara (host) acaranya? Apakah isi motivasinya? Pertanyaan-pertanyaan itu berjejalan di otak saya ketika mendapat informasi tentang acara yang fenomenal ini. Kemudian beberapa kali saya menonton acara ini. Betul-betul luar biasa acara ini. Saya ketagihan untuk menunggu tayangannya.
Ternyata ada kekuatan maha dahsyat dari kalimat-kalimat Mario Teguh. Saya sering dibuat terpukau dan tertegun dengan kalimat-kalimatnya. Beberapa kalimat saya tuliskan di buku kerja saya, supaya saya bijaksana dalam bersikap. Dan saya merasa mempunyai pengingat setiap saya berbuat dan bersikap tidak bijak. Alangkah dahsyat, seperti cetar membahana badai kata Syahrini. Itulah yang menjadikan saya tertarik untuk menelaah kalimat-kalimat Mario Teguh

LANDASAN TEORETIK
Filsafat
            Manusia adalah makhluk yang berpikir. Ia diberi kelebihan oleh Tuhan dengan akal dan budi. Oleh karena itu, manusia selalu berpikir tentang lingkungannya, dirinya, hubungan dengan manusia lain, bahkan tentang Tuhan. Ketika sedang berpikir, merenung-renung tentang dirinya dan kehidupan ini untuk mencari hakikat/kebenaran yang hakiki itulah ia sedang berfilsafat.
            Dari sudut etimologisnya kata filsafat berasal bahasa Yunani yaitu Philien yang artinya mencintai dan Sophia yang artinya kebijaksanaan. Jika digabungkan, filsafat artinya mencintai kebijaksanaan.
            Dalam Encyclopedia America volume 21 (dalam Lubis) dikemukakan bahwa “Philosophy can be defined as rational critical thinking of a more or less systematic kind, about the conduct of life, the general nature of the world, and the justification of belief”.
            Filsafat merupakan pemikiran kritis yang sistematis dan meliputi kajian mengenai perilaku manusia dalam kehidupan dan semesta alam. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah suatu refleksi dari akal budi mengenai esensi manusia dan alam semesta untuk mencari kebenaran hakiki.
            Namun perlu dibatasi bahwa kebenaran hakiki yang ditawarkan filsafat bukan kebenaran yang hakiki. Pergeseran nilai kebenaran dapat terjadi sesuai dengan perkembangan zaman dan kebudayaan yang dikelola manusia. Kebenaran hakiki hanya milik Tuhan. Kebenaran hakiki berupa risalah dari Tuhan melalui rasulNya.
Filsafat Bahasa
            Secara umum orang akan berasumsi bahwa filsafat bahasa memuat pengertian penggabungan dua kata yaitu filsafat dan bahasa atau bersifat melalui bahasa. Asumsi tersebut tidak dapat dipersalahkan, meskipun esensinya tidak seperti itu.
            Filsafat bahasa adalah bidang filsafat khusus yang dulu disebut filsafat analitik, yang menganalisis penggunaan bahasa sebagai sarana verbal untuk mengungkapkan kebenaran atau kejaksanaan. Filsafat bahasa lebih berkenaan dengan bagaimana suatu ungkapan bahasa itu mempunyai arti, sehingga analisis filsafati tidak lagi dimengerti berdasarkan pada logika teknis, baik logika formal maupun logika matematika, tetapi berfilsafat berdasarkan penggunaan bahasa (Wicoyo dalam Lubis).
             Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Wicoyo,  Kaelan mengungkapkan bahwa filsafat bahasa adalah pemecahan masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat melalui analisis bahasa karena bahasa merupakan saran yang vital dalam filsafat.
            Dengan kata lain, filsafat bahasa adalah analisis nuansa filsafat melalui medium bahasa. Melalui medium bahasa, kebermaknaan unsur filsafat akan lebih jelas dan mudah dipahami.
Bahasa
            Linguis dan ahli psikologi telah mencoba selama berabad-abad untuk mendefinisikan bahasa. Oleh sebab itu, sebuah definisi mencerminkan teori dan bidang kajian yang melatarbelakangi.
            Berikut ini akan dikutip beberapa definisi Bahasa.
1.      Bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh manusia yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh masyarakat tertentu untuk komunikasi.
2.      Bahasa adalah ketrampilan khusus atau kompleks yang berkembang pada manusia secara spontan, tanpa ada upaya sadar atau formal, disebarkan tanpa kesadaran logika yang mendasari, yang secara kualitatif sama pada setiap orang untuk memproses informasi atau berperilaku secara cerdas.
3.      Bahasa adalah sarana untuk menyampaikan pikiran dan perasaan manusia, alat penyampai rasa santun, alat penyampai rasa solidaritas, alat penyampai rasa keakraban dan hormat, sebagai alat pengenalan diri, sebagai cermin peradaban bangsa (Poedjosoedarmo 2001: 170).
Setiap orang mempunyai dan menggunakan bahasa. Berbahasa merupakan kegiatan rutin manusia yang alamiah. Dengan bahasa manusia membedakan dirinya dengan makhluk lain yang ada di jagad raya ini. Sebagai alat komunikasi dan interaksi yang hanya dimiliki manusia, bahasa dapat dikaji secara internal dan eksternal. Kajian secara internal artinya pengkajian terhadap struktur intern bahasa itu sendiri. Sebaliknya, kajian eksternal adalah kajian bahasa dikaitkan dengan hal-hal di luar bahasa. Kajian eksternal melibatkan beberapa disiplin ilmu.  
Kalimat
            Kalimat adalah kalimat satuan bahasa terkecil dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan pikiran utuh. Kalimat terdiri atas topik yang menjadi pokok pembicaraan dan komen yang menjelaskan topik tersebut. Topik berupa subjek dan komen berupa predikat.
 Contoh:          Remaja sekarang sangat senang dengan kata galau.
Topik kalimat di atas adalah remaja sekarang, sedangkan komen adalah sangat senang dengan kata galau.
            Selain secara struktur, kalimat akan berterima jika mengikuti logika dan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat. Berikut ini contoh kalimat tidak berterima.
1.      Pengemis itu sangat bangga dengan kemiskinannya.
2.      Anda akan mendapat keuntungan yang berlipat jika ikut judi berhadiah.
Kalimat (1) tidak berterima karena tidak logis, dan kalimat (2) tidak berterima karena menyalahi sistem nilai.

PEMBAHASAN
            Sebelum saya membahas kalimat-kalimat Mario Teguh dalam Golden Ways, alangkah baiknya kita mengenal sosok Mario Teguh terlebih dahulu. Pengenalan ini paling tidak dapat membantu kita dalam memahami kalimat-kalimatnya.
Nama aslinya adalah Sis Maryono Teguh, tetapi saat tampil di depan publik, ia menggunakan nama Mario Teguh. Mario Teguh  lahir di Makassar, 5 Maret 1956. Ia meraih gelar Sarjana Pendidikan dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang. Mario Teguh sempat bekerja di Citibank, kemudian mendirikan Bussiness Effectiveness Consultant, Exnal Corp, menjabat sebagai CEO (Chief Executive Officer) dan Senior Consultan. Beliau juga membentuk komunnitas Mario Teguh Super Club (MTSC).
Mario Teguh adalah seorang muslim yang menjadi motivator dan konsultan bisnis dan kepribadian. Ia adalah motivator Indonesia yang paling mahal dan telah mendapat penghargaan dari Meseum Rekor Indonesia (MURI) sebagai motivator yang paling banyak follower/pengikutnya di facebook.
Sebelumnya Beliau membawakan acara bertajuk Business Art di O’Channel. Kemudian namanya semakin dikenal luas oleh masyarakat ketika ia membawakan acara Mario Teguh Golden Ways di Metro TV.
Adalah kalimat-kalimatnya yang memukau itu menjadikan acaranya diburu banyak kalangan. Yang hadir dalam acaranya berasal dari berbagai kalangan baik tua maupun muda. Yang hadir dan yang menonton ingin mendapat pencerahan dari kebijaksanaan kata-katanya yang dalam, sedalam samudera. Magnet lainnya adalah penyampaiannya yang lembut, pelan, tetapi kata-katanya bernas dapat menusuk ke sanubari. Selain itu, Mario Teguh memang mengagumkan karena logikanya yang luar biasa.
Saya akan membahas kekuatan kalimat-kalimat Mario Teguh dalam acara Golden Ways yang acak.
1.       Hanya orang takut yang bisa berani, karena keberanian adalah melakukan sesuatu yang ditakutinya.  Bila Anda merasa takut, Anda akan punya kesempatan untuk bersikap berani.
Pernyataan di atas terdiri atas dua hal, yaitu takut dan berani. Mario Teguh mengontraskan dan memadukan dua hal yang berbeda. Secara semantik makna kata takut berbeda dengan makna kata berani, justu keduanya beroposisi atau kebalikannya. Namun, kalau direnungkan memang benar bahwa keberanian itu akan muncul setelah takut. Ketakutanlah yang menjadi kekuatan untuk berani. Dari sudut filsafat, ada orang takut itu karena ada orang berani, dan ada orang berani karena yang lain takut.  Intinya, sesuatu itu memberi keberadaan bagi yang lain

2. Orang lanjut usia yang berorientasi pada kesempatan adalah orang muda yang tidak pernah menua. Namun, pemuda yang berorientasi pada keamanan telah menua sejak muda.
Pernyataan di atas mengandung makna bahwa tua muda tidak selalu dikaitkan dengan fisiologi, tetapi berkaitan dengan pola pikir. Misalnya seorang sarjana yang ingin menjadi PNS, berarti ia ingin aman. PNS dianggap profesi paling aman secara finansial. Oleh Mario Teguh dikatakan sarjana tadi telah menua sebelum waktunya. Dan sebaliknya misalnya orang yang tua yang senang dengan tantangan atau kesempatan mencoba bisnis baru, ia dapat dikatakan tidak pernah menua dari sisi ide/gagasan. Karena dunia bisnis penuh dengan kompetisi. Siapa yang kreatif, maka ia akan selalu hidup (di dunia bisnis). Filsafat bahasa memberikan makna menua itu berbeda dengan tua. Tua itu keadaan, sedangkan menua itu proses tua. Bagi orang muda proses tua itu lebih mengerikan dan dahsyat, sedangkan bagi orang tua proses tua tidak diinginkan sama sekali. Luar biasa sekali Mario Teguh menggunakan kata menua.

3. Anda tidak akan berhasil menjadi pribadi baru bila Anda berkeras untuk mempertahankan cara-cara lama Anda. Anda akan disebut baru, hanya bila cara-cara anda baru.
Kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa pembaruan adalah aktivitas dengan meninggalkan cara-cara lama. Kalimat ini mengkritisi orang-orang yang suka menyebut diri agen pembaharuan, tetapi mereka masih menggunakan cara lama. Anda pun perlu merenungi kalimat ini kalau ingin menjadi pribadi baru. Memang tidak mudah meninggalkan cara lama apalagi sudah menjadi kebiasaan. Oleh karena itu, frasa berkeras untuk mempertahankan digunakan Mario Teguh untuk menekankan logika bahwa cara lama telah menjadi kebiasaan.  Dan mengapa Mario tidak menggunakan  anak kalimat bila Anda tidak meninggalkan cara-cara lama Anda. Karena untuk menjadi pribadi baru, dibutuhkan kemauan tinggi dengan melawan arus. Memang tidak  mudah menjadi pribadi baru.
4. Bila Anda belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat Anda, bakatilah apapun pekerjaan Anda sekarang. Anda akan tampil secemerlang yang berbakat.
Ada kata yang menarik dari kalimat di atas, yaitu kata bakatilah. Kata ini digunakan untuk menyesuaikan kata bakat pada anak kalimat. Mario Teguh sangat cerdas dalam mengutak-atik kata. Proses pembentukan kata bakati mungkin beranalogi dengan proses pembentukan kata kenal mendapat akhiran –i menjadi kenali. Makna imbuhan –i adalah kausatif, ‘menyebabkan jadi’. Sebenarnya Mario Teguh ingin mengatakan tekuni pekerjaan Anda seperti orang berbakat.

 5.Orang-orang yang minta gaji lebih biasanya tidak dapat lebih, tapi yang melakukan lebih dan berkualitas akan mendapat lebih.  
Penggunaan kata lebih yang berulang-ulang secara paralel menyebabkan kalimat harmoni didengar dan indah. Retorika paralelisme bukan sekadar tebar pesona kata-kata. Namun, Mario Teguh mempunyai maksud bahwa kata lebih itu yang ingin ditonjolkannya.
            Mario Teguh memang mempunyai kecerdasan verbal yang bagus. Pilihan katanya bernas, disusun dengan indah. Kalimatnya juga mudah dicerna. Ia sangat piawai memberi motivasi. Dan bersamanya sepertinya hidup ini mudah. Apakah benar hidup ini mudah? Berikut ini pernyataannya:
Ada yang mengatakan hidup itu tak semudah omongan saya. Saya setuju. Maka dari itu saya tidak pernah mengatakan bahwa hidup itu mudah. Sebab kalau benar hidup itu mudah, kita tidak perlu berada di ruangan ini untuk bersama-sama mempelajari kehidupan.


PENUTUP
Kalimat-kalimat Mario Teguh sebenarnya sederhana, dengan menyatakan sesuatu yang berlawanan, misal takut dan berani, tua dan muda, baru dan lama, berbakat dan tidak berbakat, serta lebih dan tidak lebih, tetapi makna dari yang berlawanan itu sangat dalam.               Itu artinya bahwa sesuatu  yang dianggap lemah justru akan menjadi kekuatan bagi yang lain atau yang berlawanan itu.
Mario Teguh juga mengajak kepada kita merenungi apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, dan apa yang sudah kita lakukan. Kalimat-kalimat yang penuh makna perenungan menjadikan kita bijak berpikir, bijak merasakan, dan bijak berbuat untuk kemuliaan hidup dan kehidupan.
Maka tak salah jika acaranya disebut Golden Ways. Kata-kata yang bijak yang berkilauan bagai emas bagai logam mulia yang mahal. Harga yang ditebus sangat mahal untuk sebuah kalimat. Karena Mario teguh adalah motivator paling mahal

Selasa, 13 Agustus 2013

Pendidikan Multikultural di Indonesia


MENCARI BENTUK PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
 SRI SUJATI, S.Pd., M.Pd.

Kita belum lupa berita tentang  masyarakat Bali di Lampung yang ketakutan karena perlakuan penduduk setempat. Juga ketika pilkada Jakarta, sebagian masyarakat masih mempersoalkan Jokowi yang orang Jawa dan Ahok yang keturunan Cina. Demikian juga kasus pembongkaran gereja HKBP di Bekasi oleh satpol PP karena persoalan IMB saja. Berita di televisi menunjukkan masyarakat Indonesia belum dapat bertindak arif dalam menghadapi multikultural. Mengapa kita sering berseteru karena persoalan etnis, budaya, dan agama. Padahal, kita semua menyadari bahwa Indonesia itu multikultural. Ada apa dengan Indonesia? Jika terjadi kekacauan peradaban seperti ini selalu yang disalahkan adalah proses pendidikan manusia Indonesia.
Pendidikan Multikultural
Apa yang sudah dilakukan Pemerintah selama ini dalam kebijakan pendidikannya? Sebenarnya Pemerintah sudah merespon persoalan multikultural karena multikultural telah menjadi isu pendidikan di berbagai negara. Pendidikan multikultural adalah salah satu isu yang menyebabkan lahirnya kurikulum 2013, selain isu perkembangan teknologi informatika, pendidikan karakter, kewirausahaan dan ekonomi kreatif. Pemerintah selalu banyak wacana, tetapi selalu tidak serius dalam pelaksanaannya dan tidak jelas programnya. Kurikulum 2013 terlalu banyak beban. Agenda yang mana dulu yang menjadi prioritas mungkin sulit ditentukan karena isu-isu itu mendesak semua.
            Pendidikan multikultural di Indonesia sangat penting ditangani serius karena Indonesia adalah negara multikultur terbesar di dunia. Multikultur adalah suatu keadaan yang beragam disebabkan perbedaan gender, agama, status sosial ekonomi, budaya, bahasa, ras, dan adat istiadat. Pendidikan multikultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian  peserta didik agar menghargai multikultur dan arif   bijaksana dalam menghadapi masalah keberagaman. Selain alasan Indonesia adalah negara multikultur, pendidikan multikultural harus segera dilakukan karena semua negara telah lebih dulu melakukannya.

Contoh Pendidikan Multikultural di Mancanegara
            Pendidikan multikultural menjadi masalah penting di berbagai negara karena globalisasi membolehkan masyarakat dunia bebas bergerak, bebas tinggal, dan berinteraksi. Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai persoalan multikultural. Meskipun suatu negara diduga monokultur, ternyata tetap multikultur. Jepang, Korea Selatan, Cina, dan Jerman termasuk negara yang diduga monokultur, tetapi ternyata mereka mempunyai persoalan multikultural, yaitu kelompok minoritas. Karena perkembangan ekonomi dan industri, mereka menjadi gula bagi negara lain. Migrasi internasional, seperti mencari pekerjaan, belajar di universitas, atau perkawinan telah memicu persoalan multikultural. Jepang mempunyai minoritas, yaitu imigran Korea, Cina dan dari bangsa Asia lainnya.  Di Jepang ada program Minzokugakkyu dan Dowa. Sekolah yang mayoritas Korea misalnya dibolehkan mengajarkan kebudayaan Korea dan ada satu pekan untuk berekspresi sesuai dengan kebudayaannya. Hak-hak terhadap kebudayaan minoritas sangat dijunjung tinggi di Jepang. Di Cina, etnis Han adalah mayoritas, dan yang lain seperti etnis Ughiur, Manchu, Hui adalah minoritas. Dalam kebijakan bahasa, Pemerintah menganjurkan bahasa-bahasa kecil digunakan dalam pelajaran, selain bahasa Mandarin Cina sebagai bahasa resmi. Pendidikan multikultural tidak hanya terdapat pada buku teks saja, tetapi betul-betul dipraktikkan di Cina. Di Korea Selatan, persoalan anak yang lahir dari perkawinan internasional menjadi perhatian utama. Kementrian Pengembangan Pendidikan dan sumber Daya manusia Korea Selatan secara khusus menangani anak-anak yang lahir antaretnis dengan kurikulum khusus dan anak-anak itu tetap belajar di sekolah biasa, bukan sekolah khusus. Di Jerman, kelompok minoritas/imigran tidak diperkenankan mendirikan sekolah sendiri. Anak-anak imigran harus berbaur dengan anak-anak Jerman. Pendidikan multikultural dimasukkan ke dalam mata pelajaran Kewarganegaraan. Anak-anak diajari menghargai keberagaman dengan praktik langsung seperti melibatkan anak imigran dalam berbagai kegiatan dan mereka diberi kesempatan mementaskan kebudayaannya setiap akhir semester.

Perlu Ada Model
            Bercermin dari pendidikan multikultural di beberapa negara, Indonesia seharusnya lebih jelas arahnya. Apakah pendidikan kultural akan diramu dalam kurikulum yang isinya harus menekankan multikultural ataukah melalui manajemen? Mari kita cermati praktik selama ini. Di perbatasan Brebes, ada desa yang masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan bahasa sehari-hari. Namun, mengapa siswa harus menerima bahasa Jawa dalam kurikulum di sekolahnya? Apakah karena Brebes termasuk Jawa tengah? Memang secara geografi benar, tetapi secara kebudayaan, mereka berbeda budaya. Dan jika anak etnis lain (Batak, Sunda) bersekolah di Jawa Tengah, dia akan menjadi minoritas dan tidak mendapat pelayanan yang memadai atas hak-hak budayanya.  Contoh lain misalnya, orang-orang keturunan Cina mendirikan sekolah khusus untuk anak-anaknya. Kasus ini adalah contoh pelanggaran dalam pendidikan multikultural selama ini.  
            Dalam kurikulum 2013 mata pelajaran Bahasa Indonesia mendapat peran penting dalam pendidikan multikultural. Materi atau buku teks harus berbasis multikultural. Namun, pendidikan multikultural tidak sesederhana itu, yaitu terdapat pada buku teks atau bacaan. Justru pada ranah paedagogi dan manajemen lebih penting. Terdapat tiga prinsip pendidikan multikultural yang dikemukakan oleh Tilaar, antara lain sebagai berikut:
(1)   Pendidikan multikultural didasarkan pada pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy),
(2)   Pendidikan multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas dan mengembangkan pribadi-pribadi Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya,
(3)   Prinsip globalisasi tidak perlu ditakuti apabila bangsa ini arah serta nilai-nilai baik dan buruk yang dibawanya.
Menurut Bank (2006) pendidikan multikultural dapat ditempuh dengan lima langkah sebagai berikut: (1) konten integrasi, termasuk perspektif minoritas, (2) proses pembangunan pengetahuan, yaitu menanamkan sistematik kritis dari sumber-sumber ilmu pengetahuan, (3) Keadilan paedagogik, yaitu kemampuan guru merancang pembelajaran yang memperkenalkan keranekaragaman budaya, ras, sosial ekonomi, gender, dan agama, (4) mengurangi prasangka dengan mengembangkan pandangan positif siswa terhadap keanekaragaman, tidak boleh ada diskriminasi, dan (5) memperkuat struktur budaya dan sosial di sekolah, dengan memberikan hak-hak budaya pada kelompok minoritas. Sedangkan menurut Gay (1992) pendidikan multikultural harus diaplikasikan dalam segala bidang dan penerapannya harus kontekstual.
            Pendidikan multikultural di Indonesia selama ini masih jauh panggang dari api.  Pembelajaran yang sangat verbalis menjadikan sikap anak tumpul dan tidak peka terhadap lingkungan yang multikultural. Guru-guru tidak mempunyai kemampuan didaktik-paedagogi yang memadai berkaitan dengan pemahaman multikultural. Dan manajemen juga sering membuat kebijakan yang diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Hak-hak minoritas sering dirampas. Seperti di Jepang yang mempunyai model Minzokugakkyu dan Dowa, Indonesia perlu mencari bentuk model yang diujicobakan di beberapa sekolah laboratorium. Kemudian jika sudah dinyatakan bagus, baru akan digunakan oleh sekolah seluruh Indonesia.
 Jika NKRI harga mati, pendidikan multikultural adalah harga mati.

Esai Pembelajaran Sastra

Esai
PEMBELAJARAN SASTRA DAN LITERASI
OLEH
SRI SUJATI, S.Pd., M.Pd.

Suatu hari saya bergabung dengan siswa yang membicarakan Korea Pop. Mereka tampak sangat heboh dalam obrolan dan mampu menyebut dengan sangat fasih nama-nama artis Korea. Remaja sekarang lebih mengenal nama artis daripada nama pemikir atau penulis besar. Ketika pembicaraan melebar mengenai film, mereka sangat cepat merespon film Twillight Saga: Breaking Dawn Part II yang dibintangi oleh Kristen Stewart dan Robert Pattinson. Namun, ketika saya menanyakan apakah mereka sudah membaca novelnya.  Mereka malah balik menanyakan apakah film itu diangkat dari novel. Pertanyaan itu menjadikan saya tertawa geli.
Ilustrasi di atas memberikan gambaran bahwa siswa kita jarang membaca karya sastra bagus. Mereka menonton film Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Negeri 5 Menara, Ayat-Ayat Cinta, dan Perahu Kertas, tetapi mereka tidak membaca novelnya. Padahal membaca  novel dan menonton filmnya  itu adalah  sesuatu yang berbeda, seperti yang dikatakan Andrea Hirata, penulis Laskar Pelangi, dalam Metro Pagi, Minggu, 25 November 2012. Konon kabarnya Laskar Pelangi juga akan diangkat ke Hollywood. Membaca karya sastra adalah pertemuan batin antara pembaca dan penulisnya. Ada pergulatan intelektual di dalamnya. Ide penulis yang disalurkan lewat cerita belum tentu diamini begitu saja oleh kita sebagai pembaca. Pembaca juga  berhak membangun persepsinya sendiri. Namun, kadang kita juga  mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan penulis dan kemudian kita mengagumi kecemerlangan gagasannya. Dalam membaca, ada pengalaman yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata ketika perasaan kita teraduk-aduk oleh konflik. Konflik dalam novel disajikan melalui narasi dan dialog yang sangat memperkaya bahasa pembaca. Sedangkan, dalam  film konflik disajikan melalui gambar dan efek yang justru akan menjauhkan kita dari literasi. Kehadiran televisi dan HP disinyalir juga menjauhkan kita dari literasi.
Literasi Rendah
Apakah literasi itu? Secara sederhana, literasia atau literer istilah lain dari melek huruf, secara fungsional adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berhitung, dan berbicara serta kemampuan mengidentifikasi, mengurai dan memahami suatu masalah. Besnier (dikutip dalam Duranti, 2001) dalam Key Concepts in Language and Culture, literasi adalah komunikasi melalui yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat. Visual di sini termasuk di dalamnya adalah bahasa tulisan yang dimediasi dengan alphabet atau aksara.
Kemampuan membaca bangsa Indonesia sangat rendah. Dua alat ukur internasional, Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) maupun Programme for International Student Assessment (PISA) memperlihatkan tingkat literasi anak-anak Indonesia usia 9-15 tahun sangat rendah. PIRLS 2001 dan PIRLS 2006 mencatat bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada di peringkat lima terbawah. Tiga penelitian terakhir dari PISA (2000, 2003, 2006) menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak Indonesia usia 15 tahun—usia akhir wajib belajar 9 tahun—dalam tiga macam literasi, yaitu kemampuan membaca (reading literacy), kemampuan menerapkan matematika untuk kehidupan praktis (mathematical literacy), serta kemampuan memakai sains dalam keterampilan hidup sehari-hari (scientific literacy), berada pada level 1. Ini berarti, anak-anak itu baru mampu menangkap satu dua tema dari sebuah bacaan dan belum bisa memakai teks bacaan untuk kepentingan yang lebih dalam, mengembangkan pengetahuan atau mengasah keterampilan.
                 Data dari Association For the Educational Achievement (IAEA) misalnya, mencatat bahwa pada 1992 Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Masih dalam hal membaca, Indonesia berada di peringkat ke-57 dari 65 negara di dunia atau 8 peringkat terakhir (kompasiana.com, 16/03/2012). Kemampuan membaca bangsa Indonesia ini pernah disindir Taufik Ismail dalam puisi “Pelajaran Mengarang” (dalam antologi puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia).
            Kemampuan membaca dan menulis menjadi indikator peradaban suatu bangsa. Kemampuan membaca dan menulis suatu bangsa tercermin dalam sastranya. Jika sastra berkembang dengan pesat dan diapresiasi (dibaca) dengan baik oleh masyarakat suatu bangsa, itu tandanya literasi suatu bangsa meningkat. Jadi ada hubungan yang erat antara sastra dan literasi. Selain itu, sastra juga menjadi sarana penting dalam pertumbuhan peradaban karena sastra mndokumentasikan peradaban suatu bangsa. Sebagai contoh jika Anda ingin tahu peradaban bangsa Inggris abad 17 baca saja karya Shakespeare. Jika Anda ingin tahu Indonesia pada masa pendudukan Belanda baca saja karya sastra Angkatan 20-an. 

            Pembelajaran Sastra Meningkatkan Literasi
            Tidak mudah menumbuhkan kebiasaan membaca pada masyarakat. Apalagi bila masyarakat kita masih dalam budaya lisan/oral. Memang di Indonesia, salah satu tantangan terbesar dalam pemberdayaan bangsa ini adalah meninggalkan tradisi lisan untuk memasuki tradisi baca tulis. Padahal era teknologi informasi telah menciptakan ruang yang luas terhadap tumbuh kembangnya media baca tulis. Pemerintah tidak diam saja melihat fenomena ini. Pemerintah melalui mata pelajaran Bahasa Indonesi, khususnya dalam pembelajaran sastra  menitipkan pesan untuk menumbuhkan budaya membaca. Kurikulum KBK tahun 2004 mewajibkan siswa SMA harus membaca 15 buku sastra yang meliputi berbagai genre. Dan jumlah ini masih di bawah Malaysia. Sebenarnya dalam kurikulum KTSP kewajiban itu masih berlaku dan bahkan idealnya jumlah buku ditambah karena KTSP merupakan penyempurnaan KBK.
             Pembelajaran sastra seharusnya lebih banyak melibatkan siswa membaca buku di perpustakaan. Namun anehnya, siswa sangat asing dengan buku kumpulan puisinya Rendra, Sutarji Cholsum Bachri, Taufik Ismail, Mustofa Bisri, dan lain-lain. Siswa juga tidak pernah membaca kumpulan cerpen karya Umar Kayam, Ahmad Tohari, Hamsad Rangkuti, Korie Layun Rampan dan lain-lain. Mereka juga tidak membaca novel-novel fenomenal seperti Merahnya Merah (Iwan Simatupang), Atheis (Achdiat Kartamiharja), Burung-Burung Manyar (Romo Mangunwijaya), Ny. Talis (Budi Darma), Ronggeng Dukuh Paruk (Triloginya Ahmad Tohari), dan Saman (Ayu Utami). Yang saya hanya sebagian kecil. Masih banyak karya saatra bagus yang memuat nilai-nilai kehidupan dan budaya yang tinggi.
            Tujuan pembelajaran sastra adalah untuk membentuk sikap kritis dan kreatif serta kepekaan terhadap fenomena kehidupan di lingkungan sosial budaya maupun alam sekitar. Sastra dapat menumbuhkan kehalusan budi pekerti, menguatkan karakter bangsa, dan meningkatkan minat baca. 
Pakar pendidikan Prof Dr Arief Rachman MPd menilai bahwa negara kita kekurangan bahan bacaan yang bertemakan budaya. Arief mengatakan, kurangnya bahan bacaan yang bisa memberi informasi mengenai akar kebudayaan bangsa dapat menyebabkan krisis kebudayaan. Dalam kebudayaan bangsa kita terdapat nilai-nilai kearifan tersendiri yang seharusnya bisa menjadi penyeimbang dan penyaring budaya global. Bacaan yang mengandung nilai-nilai kultural akan melekat dalam karakter anak-anak sampai nanti mereka dewasa. Ketika budaya Korea Pop menyerang remaja kita, demam itu tidak akan menjadikan mereka sakit secara kebudayaan (Hedonisme) karena mereka sudah kuat dengan bacaan novel yang sarat dengan nilai-nilai Indonesia.
Siswa cenderung suka membaca novel remaja yang penuh percintaan yang menurut saya tidak mengandung nilai-nilai luhur. Padahal sastra dapat memberikan pencerahan yang berupa tuntunan yang akan dianut oleh pembacanya. Novel remaja yang ringan dan gaul bahasanya juga tidak memperkaya kosakata pembacanya. Novel remaja juga terlalu sederhana konfliknya/alurnya sehingga tidak memberikan pelajaran kehidupan. Taufik Ismail dalam esainya di majalah sastra Horison mengatakan,”Jika remaja kita nanti egois, angkuh, ambisius, mudah putus asa, dan tidak mempunyai kepekaan sosial, jangan salahkan pendidikan tapi koreksi dulu bacaannya dan lingkungan pergaulannya.”