Selasa, 13 Agustus 2013

Esai Pembelajaran Sastra

Esai
PEMBELAJARAN SASTRA DAN LITERASI
OLEH
SRI SUJATI, S.Pd., M.Pd.

Suatu hari saya bergabung dengan siswa yang membicarakan Korea Pop. Mereka tampak sangat heboh dalam obrolan dan mampu menyebut dengan sangat fasih nama-nama artis Korea. Remaja sekarang lebih mengenal nama artis daripada nama pemikir atau penulis besar. Ketika pembicaraan melebar mengenai film, mereka sangat cepat merespon film Twillight Saga: Breaking Dawn Part II yang dibintangi oleh Kristen Stewart dan Robert Pattinson. Namun, ketika saya menanyakan apakah mereka sudah membaca novelnya.  Mereka malah balik menanyakan apakah film itu diangkat dari novel. Pertanyaan itu menjadikan saya tertawa geli.
Ilustrasi di atas memberikan gambaran bahwa siswa kita jarang membaca karya sastra bagus. Mereka menonton film Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Negeri 5 Menara, Ayat-Ayat Cinta, dan Perahu Kertas, tetapi mereka tidak membaca novelnya. Padahal membaca  novel dan menonton filmnya  itu adalah  sesuatu yang berbeda, seperti yang dikatakan Andrea Hirata, penulis Laskar Pelangi, dalam Metro Pagi, Minggu, 25 November 2012. Konon kabarnya Laskar Pelangi juga akan diangkat ke Hollywood. Membaca karya sastra adalah pertemuan batin antara pembaca dan penulisnya. Ada pergulatan intelektual di dalamnya. Ide penulis yang disalurkan lewat cerita belum tentu diamini begitu saja oleh kita sebagai pembaca. Pembaca juga  berhak membangun persepsinya sendiri. Namun, kadang kita juga  mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan penulis dan kemudian kita mengagumi kecemerlangan gagasannya. Dalam membaca, ada pengalaman yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata ketika perasaan kita teraduk-aduk oleh konflik. Konflik dalam novel disajikan melalui narasi dan dialog yang sangat memperkaya bahasa pembaca. Sedangkan, dalam  film konflik disajikan melalui gambar dan efek yang justru akan menjauhkan kita dari literasi. Kehadiran televisi dan HP disinyalir juga menjauhkan kita dari literasi.
Literasi Rendah
Apakah literasi itu? Secara sederhana, literasia atau literer istilah lain dari melek huruf, secara fungsional adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berhitung, dan berbicara serta kemampuan mengidentifikasi, mengurai dan memahami suatu masalah. Besnier (dikutip dalam Duranti, 2001) dalam Key Concepts in Language and Culture, literasi adalah komunikasi melalui yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat. Visual di sini termasuk di dalamnya adalah bahasa tulisan yang dimediasi dengan alphabet atau aksara.
Kemampuan membaca bangsa Indonesia sangat rendah. Dua alat ukur internasional, Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) maupun Programme for International Student Assessment (PISA) memperlihatkan tingkat literasi anak-anak Indonesia usia 9-15 tahun sangat rendah. PIRLS 2001 dan PIRLS 2006 mencatat bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada di peringkat lima terbawah. Tiga penelitian terakhir dari PISA (2000, 2003, 2006) menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak Indonesia usia 15 tahun—usia akhir wajib belajar 9 tahun—dalam tiga macam literasi, yaitu kemampuan membaca (reading literacy), kemampuan menerapkan matematika untuk kehidupan praktis (mathematical literacy), serta kemampuan memakai sains dalam keterampilan hidup sehari-hari (scientific literacy), berada pada level 1. Ini berarti, anak-anak itu baru mampu menangkap satu dua tema dari sebuah bacaan dan belum bisa memakai teks bacaan untuk kepentingan yang lebih dalam, mengembangkan pengetahuan atau mengasah keterampilan.
                 Data dari Association For the Educational Achievement (IAEA) misalnya, mencatat bahwa pada 1992 Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Masih dalam hal membaca, Indonesia berada di peringkat ke-57 dari 65 negara di dunia atau 8 peringkat terakhir (kompasiana.com, 16/03/2012). Kemampuan membaca bangsa Indonesia ini pernah disindir Taufik Ismail dalam puisi “Pelajaran Mengarang” (dalam antologi puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia).
            Kemampuan membaca dan menulis menjadi indikator peradaban suatu bangsa. Kemampuan membaca dan menulis suatu bangsa tercermin dalam sastranya. Jika sastra berkembang dengan pesat dan diapresiasi (dibaca) dengan baik oleh masyarakat suatu bangsa, itu tandanya literasi suatu bangsa meningkat. Jadi ada hubungan yang erat antara sastra dan literasi. Selain itu, sastra juga menjadi sarana penting dalam pertumbuhan peradaban karena sastra mndokumentasikan peradaban suatu bangsa. Sebagai contoh jika Anda ingin tahu peradaban bangsa Inggris abad 17 baca saja karya Shakespeare. Jika Anda ingin tahu Indonesia pada masa pendudukan Belanda baca saja karya sastra Angkatan 20-an. 

            Pembelajaran Sastra Meningkatkan Literasi
            Tidak mudah menumbuhkan kebiasaan membaca pada masyarakat. Apalagi bila masyarakat kita masih dalam budaya lisan/oral. Memang di Indonesia, salah satu tantangan terbesar dalam pemberdayaan bangsa ini adalah meninggalkan tradisi lisan untuk memasuki tradisi baca tulis. Padahal era teknologi informasi telah menciptakan ruang yang luas terhadap tumbuh kembangnya media baca tulis. Pemerintah tidak diam saja melihat fenomena ini. Pemerintah melalui mata pelajaran Bahasa Indonesi, khususnya dalam pembelajaran sastra  menitipkan pesan untuk menumbuhkan budaya membaca. Kurikulum KBK tahun 2004 mewajibkan siswa SMA harus membaca 15 buku sastra yang meliputi berbagai genre. Dan jumlah ini masih di bawah Malaysia. Sebenarnya dalam kurikulum KTSP kewajiban itu masih berlaku dan bahkan idealnya jumlah buku ditambah karena KTSP merupakan penyempurnaan KBK.
             Pembelajaran sastra seharusnya lebih banyak melibatkan siswa membaca buku di perpustakaan. Namun anehnya, siswa sangat asing dengan buku kumpulan puisinya Rendra, Sutarji Cholsum Bachri, Taufik Ismail, Mustofa Bisri, dan lain-lain. Siswa juga tidak pernah membaca kumpulan cerpen karya Umar Kayam, Ahmad Tohari, Hamsad Rangkuti, Korie Layun Rampan dan lain-lain. Mereka juga tidak membaca novel-novel fenomenal seperti Merahnya Merah (Iwan Simatupang), Atheis (Achdiat Kartamiharja), Burung-Burung Manyar (Romo Mangunwijaya), Ny. Talis (Budi Darma), Ronggeng Dukuh Paruk (Triloginya Ahmad Tohari), dan Saman (Ayu Utami). Yang saya hanya sebagian kecil. Masih banyak karya saatra bagus yang memuat nilai-nilai kehidupan dan budaya yang tinggi.
            Tujuan pembelajaran sastra adalah untuk membentuk sikap kritis dan kreatif serta kepekaan terhadap fenomena kehidupan di lingkungan sosial budaya maupun alam sekitar. Sastra dapat menumbuhkan kehalusan budi pekerti, menguatkan karakter bangsa, dan meningkatkan minat baca. 
Pakar pendidikan Prof Dr Arief Rachman MPd menilai bahwa negara kita kekurangan bahan bacaan yang bertemakan budaya. Arief mengatakan, kurangnya bahan bacaan yang bisa memberi informasi mengenai akar kebudayaan bangsa dapat menyebabkan krisis kebudayaan. Dalam kebudayaan bangsa kita terdapat nilai-nilai kearifan tersendiri yang seharusnya bisa menjadi penyeimbang dan penyaring budaya global. Bacaan yang mengandung nilai-nilai kultural akan melekat dalam karakter anak-anak sampai nanti mereka dewasa. Ketika budaya Korea Pop menyerang remaja kita, demam itu tidak akan menjadikan mereka sakit secara kebudayaan (Hedonisme) karena mereka sudah kuat dengan bacaan novel yang sarat dengan nilai-nilai Indonesia.
Siswa cenderung suka membaca novel remaja yang penuh percintaan yang menurut saya tidak mengandung nilai-nilai luhur. Padahal sastra dapat memberikan pencerahan yang berupa tuntunan yang akan dianut oleh pembacanya. Novel remaja yang ringan dan gaul bahasanya juga tidak memperkaya kosakata pembacanya. Novel remaja juga terlalu sederhana konfliknya/alurnya sehingga tidak memberikan pelajaran kehidupan. Taufik Ismail dalam esainya di majalah sastra Horison mengatakan,”Jika remaja kita nanti egois, angkuh, ambisius, mudah putus asa, dan tidak mempunyai kepekaan sosial, jangan salahkan pendidikan tapi koreksi dulu bacaannya dan lingkungan pergaulannya.”

2 komentar:

  1. Literasi atau budaya baca memang belum membudaya di masyarakat kita

    BalasHapus
  2. IGT Gaming, Casinos, and Games for sale in Maricopa
    Find your complete list of 바카라 casinos, https://deccasino.com/review/merit-casino/ games and games at IGT Gaming in Maricopa, Arizona. 1. apr casino Casinos worrione.com in Casino at Residence

    BalasHapus